Metode Pembuktian dalam Matematika

Dalam matematika, setiap pernyataan atau teori perlu dibuktikan agar dapat diterima sebagai kebenaran. Pembuktian ini dilakukan dengan metode yang logis dan sistematis. Berikut adalah beberapa metode pembuktian yang sering digunakan:

1. Pembuktian Langsung
Metode ini adalah cara paling sederhana, di mana langkah-langkah logis dimulai dari asumsi awal hingga mencapai kesimpulan yang diinginkan. Metode ini cocok untuk pernyataan yang memiliki struktur jelas.
Contoh: Jika suatu bilangan genap, maka kuadratnya juga genap.

2. Pembuktian dengan Kontraposisi
Pada metode ini, untuk membuktikan “jika P maka Q”, kita membuktikan kebalikannya, yaitu “jika bukan Q maka bukan P.” Cara ini efektif jika pernyataan kontraposisi lebih mudah dibuktikan.
Contoh: Jika kuadrat suatu bilangan ganjil, maka bilangan tersebut juga ganjil.

3. Pembuktian dengan Kontradiksi
Metode kontradiksi dimulai dengan mengasumsikan kebalikan dari pernyataan yang ingin dibuktikan, lalu menunjukkan bahwa asumsi tersebut berujung pada kontradiksi. Dengan demikian, pernyataan aslinya terbukti benar.
Contoh: Pembuktian bahwa akar dua adalah bilangan irasional.

4. Pembuktian dengan Induksi Matematika
Metode ini digunakan untuk membuktikan pernyataan yang berlaku untuk semua bilangan bulat positif. Pembuktian dilakukan dalam dua langkah:

  • Langkah Basis: Menunjukkan pernyataan benar untuk bilangan awal, misalnya n = 1.
  • Langkah Induksi: Menunjukkan bahwa jika pernyataan benar untuk n = k, maka pernyataan juga benar untuk n = k+1.
    Contoh: Menunjukkan pola jumlah bilangan bulat pertama yang mengikuti aturan tertentu.

Kesimpulan
Setiap metode pembuktian memiliki keunggulan dan penerapannya masing-masing. Pembuktian langsung cocok untuk pernyataan sederhana, sedangkan kontraposisi dan kontradiksi digunakan untuk pernyataan yang lebih kompleks. Sementara itu, induksi matematika sangat efektif untuk membuktikan pola yang berulang. Dengan memahami metode-metode ini, kita dapat melihat bahwa pembuktian adalah salah satu keindahan logis dalam matematika.

Rasio Emas (Golden Ratio)

Tulisan ini disarikan dari https://www.livescience.com/37704-phi-golden-ratio.html

Yang dimaksud dengan rasio emas (golden ratio) adalah bilangan yang setara dengan bilangan $latex \frac{1+\sqrt{5}}{2}$ atau kurang lebih sama dengan 1,6180339887498948…

Sebagaimana bilangan π (baca : Bilangan Pi), rasio emas juga diberi simbol khusus, yaitu Φ (phi) oleh matematikawan Amerika bernama Mark Barr pada tahun 1900an.

Bilangan rasio emas (golden ratio) diperoleh dengan cara membagi dua sebuah garis menjadi  dua garis bagian dengan panjang a dan b dengan  a>b sedemikian sehingga $latex \frac{a}{b}=\frac{a+b}{a}$. Perbandingan $latex \frac{a}{b}=\frac{a+b}{a}$ ini setara dengan bilangan 1.6180339887498948…

File:Golden ratio line.svg

Sumber Gambar : https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Golden_ratio_line.svg

Selain itu, bilangan rasio emas juga terkait erat dengan bilangan Fibonacci yang merupakan bilangan-bilangan yang muncul berturutan pada barisan Fibonacci. Perlu diingat, bahwa barisan Fibonacci merupakan barisan yang memenuhi relasi rekurensi f_{n+1}=f_{n-1}+f_{n}. Untuk n yang semakin besar, bilangan perbandingan $latex \frac{f_{n+1}}{f_n}$ akan semakin mendekati rasio emas Φ.

Bilangan Pi : Lebih dari Sekedar 3,14

Bilangan π (dibaca: pi), yang juga merupakan abjad ke-16 alfabet Yunani, sudah kita kenal sejak duduk di bangku sekolah dasar. Biasanya kita mengenal π sebagai 22/7 atau 3,14, yang di antaranya digunakan untuk menghitung keliling lingkaran, luas lingkaran, dan volume bola. Namun, apa sebenarnya esensi bilangan π itu?

Apa Itu π?
Bilangan π (dibaca Pi) adalah perbandingan tetap antara keliling lingkaran dan diameternya, berapa pun ukuran diameter tersebut. Jika sebuah lingkaran memiliki diameter 1 (dalam satuan cm, m, dst.), maka keliling lingkaran tersebut adalah π (dalam satuan yang bersesuaian).

Apakah π Sama dengan 3,14 atau 22/7?
Jawabannya adalah tidak. Bilangan π bukan bilangan rasional, artinya π tidak bisa dinyatakan sebagai pembagian dua bilangan bulat. Angka 3,14 atau 22/7 hanyalah pendekatan yang digunakan untuk memudahkan perhitungan. Nilai π yang sesungguhnya adalah bilangan desimal tak terhingga tanpa pola berulang.

Berikut adalah 100 digit pertama bilangan π:
3.14159 26535 89793 23846 26433 83279 50288 41971 69399 37510 58209 74944 59230 78164 06286 20899 86280 34825 34211 7067.

Jika ingin melihat hingga sejuta digit pertama, Anda bisa mengakses tautan berikut: www.piday.org/million.

Sejarah Singkat π
Konsep bilangan π sudah dikenal sejak zaman kuno. Matematikawan Yunani, Archimedes (287–212 SM), memperkirakan nilai π berada di antara 3 1/7 dan 3 10/71 dengan menggunakan hukum Pythagoras. Di Tiongkok, Zu Chongzi (429–501) menghitung π sebagai 355/113, namun catatan lengkapnya tidak pernah ditemukan.

Simbol Pi seperti yang kita kenal sekarang pertama kali diperkenalkan oleh matematikawan Inggris, William Jones, pada tahun 1706. Ia menggunakan angka 3,14159 untuk merepresentasikan bilangan tersebut.

π dalam Kehidupan Modern
Bilangan π tidak hanya digunakan dalam perhitungan geometri, tetapi juga dalam berbagai bidang sains, teknik, dan teknologi. Menariknya, bilangan π dapat diubah menjadi nada-nada musik yang dimainkan dengan piano—sebuah cara kreatif untuk “mendengar” keindahan matematika.

Tautan Menarik tentang π

Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber.

Definition of Injective Function

A function f:A –> B is called injective function (or one one function) if for any x and y in A it follows that f(x)=f(y) implies x=y.

Other than the above definition, there are several equivalent definitions. Here they are.

The first one is of course the contraposition of the previous one.

A function f:A–> B is called injective function (or one one function) if for any x and y in A it follows that x≠y implies f(x)≠f(y).

The second one is:

A function f:A–> B is called injective function (or one one function) if for any X,Y⊆A with latex X⊆Y it follows that f(Y\X)=f(Y)\ f(X).

The third one is:

A function f:A–> B is called injective function (or one one function) if for any X,Y ⊆ A, if X∩ Y=Ø, then f(x)∩f(Y)=Ø.

The fourth one is:

A function f:A–> B is called injective function (or one one function) if for any X, Y ⊆ A, it follows that f(X ∩ Y)=f(X) ∩ f(Y).

The fifth one is:

A function f:A–> B is called injective function (or one one function) if for any X⊆A, it follows that f^{-1}(f(X))=X with f^{-1}(Y)={x∈A|f(x)∈ Y} for any Y ⊆ B.

The sixth one is:

A function f:A–> B is called injective function (or one one function) if there exists a function g:B–>A, such that g• f=id_A, with id_A is the identity function on A.

The proof that they are equivalent are left as exercise!!!

1 Plus 2 is 5, Why Not?

It is common for people who do not engage deeply with mathematics to think of addition only in terms of the everyday operation they know: for example, 1+2=31 + 2 = 3 or 5+3=85 + 3 = 8. This everyday understanding of addition, often called “standard addition,” is straightforward and intuitive. However, in mathematics, it is possible to define alternative types of addition that differ from this standard operation.

For example, consider the set of all integers. On this set, we can define a new addition operation as follows:

  • 1+3=71 + 3 = 7,
  • 2+4=102 + 4 = 10,
  • −7+3=−1-7 + 3 = -1,
    and so on.

From these examples, one might notice a pattern and propose a general rule: for any integers xx and yy, we define x+yx + y as x+y+yx + y + y. Here, the operation still produces an integer, which ensures consistency with the original set of integers.

However, this notation can be confusing because the “+” symbol is being used in two different contexts. On the left side, “+” represents the newly defined operation, while on the right side, “+” refers to standard addition. To avoid this ambiguity, we can replace the “+” symbol for the new operation with another symbol, such as ““. Thus, we can rewrite the rule as x∗y=x+y+yx * y = x + y + y, where “” denotes the newly defined operation.

Using this new operation, we would compute:

  • 1∗2=51 * 2 = 5,
  • 3∗−1=13 * -1 = 1,
    and so on.

This new operation is just one example of how addition can be redefined. The specific definition can vary as long as the results remain within the domain specified at the outset (in this case, the set of integers). This flexibility allows mathematicians to explore and construct systems with alternative rules, leading to insights and applications beyond standard arithmetic.

Mengapa Minus Kali Minus Plus?

Di dalam matematika, kebenaran suatu pernyataan bergantung pada semesta pembicaraan yang kita gunakan. Sebagai contoh, pernyataan “Tidak ada bilangan antara 1 dan 2” bernilai benar jika semesta pembicaraan adalah himpunan bilangan bulat, namun menjadi salah jika semesta pembicaraan adalah himpunan bilangan real.

Dalam kehidupan sehari-hari, saat kita membicarakan penjumlahan dan perkalian, semesta pembicaraan kita sebenarnya adalah himpunan bilangan real yang biasa dilambangkan dengan RR. Operasi penjumlahan dan perkalian pada himpunan bilangan real ini umumnya disimbolkan dengan tanda + dan ×. Untuk kemudahan, kita akan menuliskan operasi perkalian x×y sebagai xy.

Sifat-Sifat Dasar Penjumlahan dan Perkalian

Untuk setiap bilangan x,y,z dalam himpunan bilangan real R, berlaku sifat-sifat sebagai berikut:

  1. Asosiatif untuk Penjumlahan: (x+y)+z=x+(y+z)
  2. Elemen Identitas Penjumlahan: x+0=0+x=x
  3. Invers Penjumlahan: Terdapat bilangan w sehingga x+w=w+x=0. Bilangan w ini dinotasikan sebagai −x.
  4. Komutatif untuk Penjumlahan: x+y=y+x.
  5. Asosiatif untuk Perkalian: (xy)z=x(yz).
  6. Elemen Identitas Perkalian: Terdapat bilangan 1 sehingga 1x=x1=x.
  7. Invers Perkalian: Untuk setiap bilangan x≠0, terdapat bilangan p sehingga xp=px=1. Bilangan p ini dinotasikan sebagai x^{-1}
  8. Distributif Kiri: x(y+z)=(xy)+(xz)
  9. Distributif Kanan: (x+y)z=(xz)+(yz)

Mengapa 0×x=00 \times x = 0?

Mari kita buktikan bahwa 0x=0. Diketahui bahwa 0+0=0, dan dengan sifat distributif (Sifat No. 8 atau 9), kita peroleh: 0x=(0+0)x=0x+0x.Dengan menambahkan invers penjumlahan dari 0x, yang ditulis −0x, pada kedua ruas, diperoleh: 0x+(−0x)=0x+0x+(−0x) sehingga hasilnya: 0=0x. Ini disebut sebagai Sifat No. 11: 0x=0.

Mengapa (−x)y=−(xy)

Selanjutnya, kita akan membuktikan bahwa (−x)y adalah invers penjumlahan dari xy. Artinya, kita harus menunjukkan bahwa: (−x)y+xy=0. Dengan menggunakan sifat distributif (Sifat No. 9) dan hasil 0x=0 (Sifat No. 11), kita dapat menuliskan: (−x)y+xy=(−x+x)y=0y=0 sehingga diperoleh (−x)y=−(xy). Ini kita tulis sebagai sifat nomor 12.

Mengapa (−x)(−y)=xy?

Sekarang, kita akan membuktikan bahwa (−x)(−y)=xy. Untuk itu, cukup ditunjukkan bahwa (−x)(−y) ditambah dengan −xy sama dengan 0. Dengan menggunakan Sifat No. 12 dan sifat distributif, kita peroleh: (−x)(−y)+(−xy)=(−x)(−y)+(−x)y. Kemudian, dengan sifat distributif: (−x)(−y)+(−x)y=−x((−y)+y). Diketahui bahwa (−y)+y=0(-y) + y = 0, sehingga: −x(0)=0. Dengan demikian, kita memperoleh: (−x)(−y)=xy.

Kesimpulan

Berdasarkan pembuktian di atas, kita dapat memahami mengapa hasil perkalian dua bilangan negatif adalah bilangan positif, yaitu (−x)(−y)= xy. Selain itu, kita juga membuktikan bahwa 0×x=0 melalui sifat-sifat dasar penjumlahan dan perkalian dalam himpunan bilangan real.

Quod Erat Demonstrandum.